Saat Ini banyak dari masyarakat
yang menganggap bahwa “Metrologi” sama dengan “Meteorologi”, padahal
Meteorologi adalah ilmu yang mempelajari proses fisika atmosfer dan fenomena
cuaca, termasuk distribusi spasial dan temporal dari parameter-parameter
atmosfer serta prediksi cuaca dan perubahan iklim (Aguado, E. 2021).
Menurut Undang-undang Nomor 2
Tahun 1981 Metrologi adalah ilmu pengetahuan tentang ukur-mengukur secara luas,
sedangkan metrologi legal adalah metrologi yang mengelola satuan-satuan ukuran,
metoda-metoda pengukuran dan alat-alat ukur yang menyangkut persyaratan teknik
dan peraturan berdasarkan undang undang yang bertujuan melindungi kepentingan
umum dalam hal kebenaran pengukuran.
Sejak seorang bayi dilahirkan
dari rahim sang ibu baik dirumah sakit maupun di klinik bersalin selalu
ditimbang dengan menggunakan alat timbang bayi, saat kita membeli mangga atau
ikan dipasar rakyat atau dipasar modern selalu ditimbang dengan timbangan meja
atau timbangan elektronik, jumlah liter yang dikeluarkan ditiap Stasiun
Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) ditunjukkan dengan satuan liter melalui pompa
ukur BBM, pembayaran parkir roda empat atau roda dua diparkiran umum baik di
mall atau dimanapun yang menggunakan alat ukur berupa meter parkir maka alat
standar yang digunakan untuk mengunci adalah stop watch, begitu juga
setiap liter air bersih dari PT. AM (Air Minum) yang sampai dirumah masyarakat
diukur dengan menggunakan alat meter air.
Selain itu ada juga Neraca untuk
menimbang emas atau perak dan biasanya juga digunakan oleh apotik dan rumah
sakit untuk penimbangan obat racikan, Timbangan Sentisimal atau Bobot Ingsut
untuk menimbang beras, karet, besi dan beberapa bahan bangunan, Tangki Ukur
Mobil (TUM) sebagai alat angkut sekaligus alat ukur yang digunakan untuk
transaksi BBM ke SPBU/perusahaan, dan banyak lagi sendi kehidupan manusia yang
menggunakan Alat-alat Ukur, Takar, Timbang dan Perlengkapannya (UTTP), yang
kesemuanya itu harus dilakukan tera/tera ulang sesuai dengan waktu yang
ditentukan untuk menjaga hasil keluaran yang sesuai dengan berat atau jumlah
liter yang dikeluarkan agar masyarakat tidak mengalami kerugian dan sebagai
bentuk kehadiran pemerintah ditengah masyarakat dalam menjamin perlindungan
terhadap konsumen
Untuk mengetahui kebenaran
pengukuran tersebut dilakukan proses tera (menera) oleh pegawai yang berhak
atau sering disebut dengan Penera bersertifikat, yang mana menera didefinisikan
sebagai hal menandai dengan tanda tera sah atau tanda tera batal yang berlaku,
atau memberikan keterangan-keterangan tertulis yang bertanda tera sah atau
tanda tera batal yang berlaku berdasarkan pengujian yang dijalankan atas
alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya yang belum dipakai.
UTTP yang telah ditera akan
dilakukan tera ulang secara periodik sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan, hal ini dilakukan untuk memastikan kembali kebenaran ukuran/takaran/timbangan
dari UTTP yang telah digunakan sepanjang tahun, apabila ada ketidakbenaran
dalam hal ukuran/takaran/timbangan maka Penera akan melakukan justir atau perbaikan
ringan terhadap UTTP sampai memenuhi persyaratan tera/tera ulang.
Peneraan dilakukan dengan
menggunakan standar ukuran yang tertelusur dan satuan ukuran yang disepakati berdasarkan
Standar Internasional (SI) seperti kilogram, meter, sekon, amper, kelvin dll pada
Konvensi Meter (la Convention du Metre) yang merupakan sebuah perjanjian
internasional bertujuan untuk mencari dan menyeragamkan satuan-satuan ukur
timbangan, yang ditandatangani dan diselenggarakan di Paris pada tanggal 20 Mei
1875 oleh para utusan dari 17 Negara termasuk salah satu diantaranya adalah
Indonesia, dan sejak tahun 1960 hingga saat ini Indonesia menjadi anggota tetap
Organisation Internationale de Metrologie Legale (OIML).
Lantas apa kaitan metrologi legal
dengan menyelamatkan kehidupan bermasyarakat? tentu ini merupakan sebuah tanda
tanya besar yang harus kita jawab dan sampaikan kepada seluruh masyarakat.
Mengutip dari pernyataan Menteri Perdagangan
Republik Indonesia Bapak Dr. (H.C.) H. Zulkifli Hasan, S.E., M.M. dalam
sambutan beliau pada Peringatan Seabad Metrologi Legal di Indonesia
(1923-2023), bahwa metrologi memang memiliki keterkaitan dengan banyak aspek
kehidupan, termasuk kepercayaan yang kita anut, beliau mengutip beberapa ayat
dari berbagai agama yang berkaitan dengan pengukuran dan keakuratan, sebagai
bentuk apresiasi dan penghormatan kepada keberagaman agama yang ada di Indonesia
yaitu antara lain :
Dalam Kitab Suci Al-Quran Surat
Al-Isra ayat 35, disebutkan: " Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu
menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya". Dalam Injil Kristen, disebutkan:
" Janganlah kamu berbuat curang dalam peradilan mengenai ukuran, timbangan
dan sukatan (Imamat 19:35) ". Dalam Kitab Suci Weda Hindu, disebutkan:
"Semua ukuran, timbangan dan ukuran panjang dengan tegas dan sekali dalam
enam bulan hendaklah diperiksa lagi" (M.Dc. Buku VIII, Sarga 403). Dalam
Kitab Suci Tripitaka Budha, disebutkan: "Larangan berdusta dan
memperdayakan orang lain (Ajaran Kesepuluh Buddha Gautama)".
Pada prinsipnya setiap agama
selalu mengajarkan kebaikan, termasuk cara berdagang atau berusaha yang
menggunakan alat ukur/takar/timbang yang harus sesuai dengan alat penunjuk yang
menunjukkan hasil pengukuran, begitu juga dengan Negara Republik Indonesia yang
sangat konsen terhadap metrologi legal disetiap sendi kehidupan, dibawah
Kementerian Perdagangan RI, Direktorat Metrologi pada Direktorat Jenderal
Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga terus melakukan perlindungan konsumen
sebagaimana Amanah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
Penulis mengilustrasikan bahwa kesalahan
bisa saja terjadi tanpa unsur kesengajaan pada pompa ukur SPBU yang menjual
Bahan Bakar Minyak (BBM), apabila Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas yang
membidangi metrologi legal tidak melakukan tera/tera ulang serta pengawasan secara
teratur, walaupun biasanya setiap SPBU memiliki bejana ukur sendiri untuk memastikan
setiap liter BBM yang dijual sesuai standar, bisa saja terjadi kekurangan
sebesar 20ml per liter, apabila dalam satu mesin dispenser setiap hari rata-rata
mengeluarkan BBM sebanyak 2500 liter, jika dikalikan dengan 6.729 SPBU (data.
Kementerian ESDM pada Disway National Network tanggal 1 September 2023) yang
ada di Indonesia, maka akan terjadi kekurangan jumlah BBM yang dikeluarkan
sekitar 336.450 liter/hari, yang apabila dikonversikan kedalam rupiah dengan
harga pertalite saat ini sebesar Rp. 10.000,- maka masyarakat akan mengalami
kerugian sebesar Rp. 3.364.500.000/hari.
Ilustrasi lainnya adalah terkait
dengan timbangan elektronik yang digunakan di bandara untuk mengukur berat
barang bawaan passanger yang akan dimasukkan kedalam bagasi atau kabin
pesawat, setiap maskapai memiliki batasan berat maksimum yang harus dipatuhi
untuk memastikan tidak ada kendala selama penerbangan, apabila timbangan
tersebut tidak dilakukan tera/tera ulang dan mengalami kesalahan dalam penimbangan
berat bawaan, maka berpotensi dapat membahayakan keselamatan penerbangan, selain
itu juga pesawat memerlukan lebih banyak tenaga untuk lepas landas sehingga
penggunaan bahan bakar kurang efisien serta banyak lagi akibat yang ditimbulkan
dari ketidakakuratan timbangan tersebut. Dari dua ilustrasi di atas bisa
dibayangkan bagaimana kerugian aspek materi dan keselamatan yang dihadapi oleh masyarakat
apabila dua hal tersebut memang benar benar terjadi tanpa pengawasan pemerintah,
tentu ini akan menjadi kerugian yang akan berdampak besar bagi masyarakat.
Oleh sebab itu, Masyarakat juga perlu
mengetahui bahwa setiap UTTP yang telah ditera/tera ulang dibubuhkan/dipasang Cap
Tanda Tera (CTT), SPBU yang telah ditera/tera ulang biasanya diberikan stiker
sudah dilakukan tera oleh Dinas terkait dan ditempel dimesin dispenser BBM,
timbangan meja biasanya dibubuhkan CTT dengan memberikan tanda tahun dilemping kuningan
yang terdapat dibawah timbangan, begitu juga dengan UTTP lainnya biasanya dibubuhkan/diberikan
stempel atau keterangan tertulis yang berbentuk label atau sampul atau bentuk
lainnya yang menyatakan sah atau tidak sahnya UTTP tersebut dipergunakan untuk
kepentingan komersil.
Pelaku usaha yang tidak melakukan
tera/tera ulang UTTP nya (tidak bertanda tera sah yang berlaku/tidak disertai
keterangan pengesahan yang berlaku) dapat dikenakan sanksi pidana berupa
kurungan penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda seinggi-tingginya
Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), untuk itu masyarakat sudah seharusnya
menjadi Masyarakat Melek Metrologi (3M) yang aktif, cerdas dan berdaya yang
implikasinya akan mendorong para pelaku usaha untuk lebih bertanggungjawab
terhadap UTTP yang digunakan dalam transaksi perdagangan.
Pemerintah terus mendorong pelaku usaha untuk lebih aware dan menjaga public trust dalam setiap transaksi perdagangan yang menggunakan UTTP melalui berbagai sosialisasi, dialog dan pengawasan yang ketat bahkan sampai pada pencabutan izin usaha apabila didapati penyalahgunaan terhadap UTTP yang digunakan, sehingga hal ini juga harus dibarengi dengan kepedulian dari masyarakat selaku penerima manfaat dari hasil transaksi perdagangan tersebut untuk melaporkan kepada instansi terkait apabila ada pelaku usaha yang belum melakukan tera/tera ulang UTTP nya dan dengan sengaja mengurangi takaran atau timbangan yang seharusnya.
Dari berbagai fenomena dan upaya yang dilakukan di atas, baik oleh pemerintah, pelaku usaha dan konsumen maka perlu untuk meningkatkan konsistensi dan komitmen dalam menjaga literasi terkait kemetrologian. Sekarang sudah fahamkan apa perbedaan Metrologi dengan Meteorologi, yuk jadilah Masyarakat Melek Metrologi. (KYD, TZ)
Tulisan ini pernah dimuat pada Banjarmasin Post tanggal 23 April 2024, selengkapnya di sini.